Blogger news

Pages

Senin, 05 September 2011

OBAT OTONOMIK


2.1 Pengertian sistem saraf otonom

2.1.1 Pengertian  : Bagian system saraf yang mengatur kebanyakan fungsi visceral tubuh

       2.1.2 Fungsi : Membatu mengatur tekanan arteri
                                 Motilitas dan sekresi gastrointestinal
                                 Pengosongan kandung kemih
                                 Berkeringat
                                 Suhu tubuh
2.1.3 Pembagian system saraf otonom berdasarkan Sifat sifat dasar fungsinya : Simpatis dan parasimpatis (Ganong,2001)
2.2    Susunan Sistem saraf Otonom (Simpatis dan parasimpatis), sekresi, sintesis, penyimpanan, Pelepasan transmitter, penghancuran dan lama kerja.
2.2.1 SUSUNAN SARAF OTONOM.
2.2.1.1 Simpatis
Berpusat di daerah Torakolumbal Medula Spinalis 1 sampai 3. Ganglion simpatik ditemukan pada tiga lokasi, yaitu paravertebral, prevertebral, dan terminal. Serabut praganglion melepaskan asetilkolin, sedangkan serabut pascaganglion melepaskan norepinefrin. (Goodman & Gillman, 2008)
2.2.1.2 Parasimpatis
Terdiri atas serabut praganglion yang berasal dari tiga di SSP dan hubungan pascaganglionnya. Daerah asal pusatnya adalah otak tengah, medulla oblongata, dan bagian sakrum pada medulla spinalis. Praganglion panjang, sedangkan pascaganglion lebih pendek. (Goodman & Gillman, 2008).

2.2.2 SEKRESI
Serabut saraf simpatis dan parasimpatis terutama mensekresi satu dari kedua bahan transmitter sinaps. Pada serabut kolinergik mensekresi Asetilkolin, sedangkan adrenergik mensekresi Norepinefrin. Pada saraf simpatis dan parasimpatis, semua neuron preganglion bersifat kolinergik. Pada saraf simpatis, neuron pascaganglion bersifat adrenergik, tetapi pada saraf parasimpatis neuron pascaganglionnya bersifat kolinergik.
(Sudarminah, 2009)
2.2.3 SINTESIS, PENGHANCURAN DAN LAMA KERJA.
2.2.3.1 Asetilkolin (Ach).
Disintesis pada ujung terminal dan varises serabut saraf kolinergik tempat bahan tersebut disimpan dalam bentuk kecepatan tinggi di dalam vesikel sebelum akhirnya  dilepaskan.
Reaksi kimia dasar sintesis ACh :
Asetil KoA + Kolin à transfer Ach à Asetilkolin
Setelah dipecah ACh menetap dalam jaringan selama beberapa detik kemudian dipecah menjadi ion asetat dan kolin, dikatalis oleh enzim asetilkolinesterase yang berikatan dengan kolagen dan GAG dalam jaringan ikat setempat. Setelah kolin terbentuk, kemudian diangkat kembali ke ujung saraf terminal, tempat bahan ini dipakai berulang-ulang untuk sintesis.
2.2.3.2 Norepinefrin (NE).
NE ini disintesis dari akson ujung saraf terminaldari serabut saraf adrenergik namun disempurnakan di dalam vesikel sekresi.
Tahap-tahap dalam sintesis NE terdiri dari empat tahap, yaitu pertama Tirosin diubah menjadi Dopa dengan cara Hidroksilasi, setelah diubah, Dopa diubah kembali menjadi Dopamin dengan cara Dekarboksilasi, hasil yang berupa Dopamin tersebut diangkut menuju vesikel yang kemudian diubah menjadi NE dengan cara Hidroksilasi.
Pada Medulla Adrenal, reaksi ini dilanjutkan satu tahap lagi untuk mengalihkan sekitar 90% NE menjadi Epinefrin, yaitu dengan cara Metilasi.

Tirosin       hidroksilasi       Dopa            
                                                        dekarboksilasi
                        Dopamin                          Dopamin    
                                          hidroksilasi
                  Norepinenefrin  metilasi        Epinefrin

2.2.4 CARA PEMINDAHAN DAN LAMA KERJA.
2.2.4.1 Cara Pemindahan.
2.2.4.1.1 Proses transport aktif
Diambil kembali ke dalam ujung saraf adrenergik sendiri yaitu sebanyak 50-80% dari Norepinefrin yang disekresikan.
2.2.4.1.2 Berdifusi
Berdifusi keluar dari ujung saraf menuju cairan tubuh di sekelilingnya dan kemudian masuk ke dalam darah yakni hampir semua sisa Norepinefrin yang ada.
2.2.4.1.3 Enzim
Dalam jumlah sedikit, dihancurkan oleh enzim. Salah satu enzim tersebut adalah MAO (MonoAmin Oksidase) yang berada di ujung saraf dan COMT (Cotecol-O-Metil-Transferase) yang dapat berdifusi ke seluruh jaringan.
2.2.4.2 Lama Kerja.
Biasanya NE disekresikan secara langsung ke dalam jaringan yang tetap aktif hanya selama beberapa detik.
Dalam darah, baik NE maupun Epi akan tetap aktif selama 10 sampai 30 detik namun aktivitasnya menurun menjadi hilang dalam waktu 1 sampai beberapa menit.

2.3  RESEPTOR YANG DIPENGARUHI OBAT OTONOMIK DAN LOKASINYA

·         Reseptor kolinergik

               -     Nikotinik
ü  Nikotinik Neural
Lokasi : Ganglia Otonom, Adrenal Medula, Sistem saraf Pusat
ü  Nikotinik Muscular
Lokasi : Pada Neuromuscular junction

               -     Muskarinik
ü  M1    
Lokasi : Ganglia & Berbagai kelenjar
ü  M2
Lokasi : Jantung
ü  M3
Lokasi : Otot Polos & Kelenjar
ü  M4
Lokasi : Hampir sama dengan M2
ü  M5
Lokasi : Hampir sama dengan M1

·         Reseptor Adrenergik

-     a ( Alfa )
ü  a1
Lokasi : Otot polos ( Pembuluh darah, saluran kemih – kelamin, & usus), Jantung
ü  a2
Lokasi : Ujung saraf adrenergic, sel efektor otak, otot polos pembuluh darah, sel  b Pankreas, & trombosit.

-     b ( Beta )
ü  b1
Lokasi : Jantung & sel juksta glomeruler
ü  b2
Lokasi : otot polos ( Bronkus, pembuluh darah, saluran cerna, saluran kemih-kelamin), otot rangka, Liver
ü  b3
Lokasi : Jaringan lemak/ Adiposit

·         Reseptor Dopamin
-     D1 ( DA1), D5
Lokasi : Otak, jaringan efektor (otot polos jaringan vascular ginjal)
   -     D2 (DA 2)
Lokasi : Otak, jaringan efektor (otot polos ujung saraf presinaptik)
               -     D31
Lokasi : Otak
               -     D41
Lokasi : Otak, system kardiovaskuler

2.4 OBAT OTONOMIK BERDASARKAN PENGGOLONGANNYA
Menurut efek utamanya, obat otonom dapat dibagi menjadi 5 :
a.    Parasimpatomimetik atau kolinergik
Efek obat ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis.
Dibagi menjadi :
1.    Kolinesterase, contoh nya :
a.    Asetilkolin
b.    Karbanol
c.    Metakolin
d.    Bettanekol (urekolin)

2.    Kolinesterase alkaloid, contoh nya :
a.    Pilokarpin
b.    Muskarin
c.    Arekolin

3.    Antikolinester, dibagi menjadi :
a.    Kolinester inhibitor reversible :
Kolinester ini dihambat dan setelah 2 jam dapat lepas kendali.
-       Endrotornium
-       Ambenonium :
a.    Fisostiamin (Esserin)
b.    Neostignin (Prostigmin)
c.    Prigostigmin
b.    Kolinester inhibitor irreversible :
Kolinester dirusak dan dibentuk kembali :
-       Parathion
-       Malation
-       Ekofiofat

b.    Simpatomimetik atau adrenergic
Efek menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis.
1.    Katekolanin, contohnya :
-       Epinefrin / adrenalin
-       Norepinefrin / nor adrenalin
-       Isoprotenol
2.    Non Katekolanin, contohnya :
                        - Efedrin
                        - Amfetamin
3.    b2 agonis, contohnya : b2 proterenol
c.    Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik
Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.
Penggolongannya berdasarkan antimuskarinik, yaitu :
1.    Alkaloid Solanoceace, contohnya :
-       Aropin
-       Scopalamin
2.    Semisintetik, contohnya :
-       Homatropin
-       Methscopalamin
3.    Sintetik Quaternary, contohnya :
-       Metantelin (bantin)
-       Profantelin (prebantin)
4.    Sintetik non quaternary, contohnya :
-       Benstropin
-       Dyciclonine
-       Bifericlen
5.    Tryciclis benzodiazepine, contohnya :
-       Pirezepin

d.    Simpatolitik atau penghambat adrenergic
Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas saraf simpatis.
1.    Penghambat reseptor a (alfa blocking agent)
→ golongan antagonis yang reversible,contohnya :
-       Prozosin
-       Terozosin
-       Dexazosin
2.   Penghambat reseptor b (beta blocking agent), contohnya :
-       Propanolol
3.   Penghambat reseptor kolinergik
4.   Penghambat reseptor ganglion

e.    Obat ganglion
Merangsang / menghambat penerusan impuls di ganglion.

2.5 Obat otonomik yang dimakksud dalam pemicu dan alasannya
            Obat yang digunakan untul obat anestesi lokal yaitu epinefrin karena pada epinefrin reseptor α1 tetap terangsang tetapi tidak sehebat digunakan norepinefrin. Pada norepinefrin. Pada norepinefrin alfa satu terjadi vasokonstriksi yang kuat dari epinefrin. Vasokonstriksi yang kuat dapat mengakibatkan kematian jaringan sekitar tetapi pada epinefrin vasokonstriksi tetap ada tetapi tidak sekuat norepinefrin serta pada epinefrin terjadi vasodilatasi yang kuat dari pada norepinefrin karena epinefrin merangsang reseptor β2  lebih kuat ndari norepinefrin.
2.6 EFEK OBAT OTONOMIK YANG MUNCUL DALAM PEMICU PADA
            SISTEM KARDIOVASKULAR
a.    PEMBULUH DARAH
Efek vascular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivasi reseptor α oleh Epi. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh Epi dosis rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada Epi dibandingkan dengan reseptor α. Epi dosis tinggi bereaksi dengan kedua jenis reseptor. Dominasi reseptor α menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan darah. Pada waktu kadar Epi menurun, efek terhadap reseptor α yang kurang sensitive lebih dulu menghilang.
      Efek Epi thdp reseptor β2 masih ada pada kadar yang rendah ini, dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian Epi secara sistemik. Jika sebelum Epi telah diberikan suatu penghambat reseptor α, maka pemberian Epi hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinephrine reversal. Suatu kenaikan tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum penurunan tekanan darah ini; kenaikan yang selintas ini akibat stimulasi jantung oleh Epi.
      Pada manusia, pemberian Epi dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak.
      Epi dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah, meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal sebanyak 40%. Eksresi Na, K, dan Cl berkurang; volume urin mungkin bertambah, berkurang atau tidak berubah.
      Tekanan darah arteri maupun vena paru meningkat oleh Epi. Meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena-vena besar juga berperan penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah paru. Dosis Epi yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena udem paru.

b.    ARTERI KORONER
      Epi meningkatkan aliran darah koroner. Di satu pihak Epi cenderung menurunkan aliran darah koroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung, dank arena vasokonstriksi pembuluh darah koroner akibat efek reseptor α. Di lain pihak Epi memperpanjang waktu diastolic, meningkatkan tekanan darah aorta, dan menyebabkan dilepaskannya adenosine, suatu metabolit yang bersifat vasodilator, akibat peningkatan kontraksi jantung dan konsumsi oksigen miokard; semuanya ini akan meningkatkan aliran darah koroner. Autoregulasi metabolic merupakan factor yang dominant, sehingga hasil akhirnya adalah vasodilatasi dan peningkatan aliran darah koroner. Tetapi, efek Epi ini tidak dapat dimanfaatkan pada keadaan iskemia miokard, karena manfaat peningkatan aliran darah ditiadakan oleh bertambahnya kerja miokard akibat perangsangan langsung oleh Epi.

c.    JANTUNG
      Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif Epi pada jantung.
      Epi mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari nodus sino-atrial (SA) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan focus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA, Epi juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat.
      Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari atrium ke nodus atrioventikular (AV), sepanjang bundle of His dan serat purkinje sampai ke ventrikel. Epi juga mengurangi blockade AV yang terjadi akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu Epi memperpendek periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya.
      Epi memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung dalam kisaran fisiologis, Epi memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolic.
      Akibatnya, curah jantung bertambah, tetapi kerja jantung dan pemakaian oksigen sangat bertambah, sehingga efisiensi jantung (kerja dibandingkan dengan pemakaian oksigen) berkurang. Dosis Epi yang berlebih di samping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi, juga menimbulkan kontraksi ventrikel premature, diikuti takikardi ventrikel, dan akhirnya fibrilasi ventrikel.
     
d.    TEKANAN DARAH
      Pemberian Epi pada manusia secara subkutan atau secara IV dengan lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan tekanan diastolic. Tekanan nadi bertambah besar, tetapi tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) jarang sekali menunjukkan kenaikan yang besar. Resistensi perifer berkurang akibat kerja Epi pada reseptor β2 di pembuluh darah otot rangka, di mana aliran darah bertambah. Karena kenaikan tekanan darah tidak begitu besar, refleks kompesasi vagal yang melawan efek langsung Epi terhadap jantung juga tidak begitu kuat. Dengan demikian, denyut jantung, curah jantung, curah sekuncup dan kerja ventrikel meningkat akibat stimulasi langsung pada jantung dan peningkatan alir balik vena (venous return). Biasanya efek vasodilatasi Epi mendominasi sirkulasi; kenaikan tekanan sistolik terutama disebabkan oleh peningkatan curah jantung.

      (Arini Setiawati, Farmakologi dan Terapi hal 60-61)

2.7.      EFEK EPINEFRIN PADA FUNGSI LAIN
a.    OTOT POLOS
            Efek Epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis reseptor adrenergic pada otot polos yang bersangkutan.

·         Saluran cerna
            Melalui reseptor α dan β2, Epi menimbulkan relaksasi otot polos saluran cerna pada umumnya: tonus dan motilitas usus dan lambung berkurang. Reseptor α1 dan β2 terdapat pada membrane sel otot polos sedangkan reseptor α2 pada membrane saraf mienterik kolinergik. Aktivasi reseptor α2 menyebabkan hambatan penglepasan Ach. Pada sfingter pylorus dan ileosekal, Epi menimbulkan kontraksi melalui aktivasi reseptor α1.

·         Uterus
            Otot polos uterus manusia mempunyai reseptor α1 dan β2. Responsnya terhadap Epi berbeda-beda, tergantung pada fase kehamilan dan dosis yang diberikan. Selama kehamilan bulan terakhir dan di waktu partus, Epi menghambat tonus dan kontraksi uterus melalui reseptor β2; efek ini tidak mempunyai arti klinis karena singkat dan disertai efek kardiovaskular. Tetapi β2-agonis yang lebih selektif seperti ritodrin atau terbutalin ternyata efektif untuk menunda kelahiran prematur.

·         Kandung kemih
            Epi menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor β2 dan kontraksi otot trigon dan sfingter melalui reseptor α1, sehingga dapat menimbulkan kesulitan urinasi serta retensi urin dalam kandungan kemih.

·         Pernapasan
            Epi mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui reseptor β2. Efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester kolin, pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat (SRS-A), dan lain-lain. Di sini Epi bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma, Epi juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor α1.

b.    SUSUNAN SARAF PUSAT
            Epi pada dosis terapi tidak mempunyai efek stimulasi SSP yang kuat karena obat ini relative polar sehingga sukar masuk SSP. Tetapi pada banyak orang Epi dapat menimbulkan kegelisahan, rasa kuatir, nyeri kepala dan tremor, sebagian karena efeknya pada system kardiovaskular.

c.    PROSES METABOLIK
            Epi menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka melalui reseptor β2 ; glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati empunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epi juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2 yang menstimuli sekresi insulin. Selain itu Epi menyebabkan berkurangnya ambilan (uptake) glukosa oleh jaringan perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin. Akibatnya, terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam darah, dan penurunan kadar glikogen dalam hati dan otot rangka.
      Epi melalui aktivasi reseptor β3 meningkatkan aktivitas lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya, kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat.
      Efek kalorigenik Epi terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30% pada pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme lemak, yang menyediakan lebih banyak substrat untuk oksidasi.
      Suhu badan sedikit meningkat, hal ini disebabkan vasokonstriksi di kulit.

d.    LAIN-LAIN
·         Kelenjar
            Efek Epi terhadap berbagai kelenjar tidak nyata; kebanyakan kelenjar mengalami penghambatan sekresi, sebagian disebabkan berkurangnya aliran darah akibat vasokonstriksi. Epi merangsang sekresi air mata dan sedikit sekresi mucus dari kelenjar ludah. Aktivitas pilomotor tidak timbul setelah pemberian Epi secara sistemik, tetapi timbul setelah penyuntikan intradermal larutan Epi atau NE yang sangat encer; demikian juga dengan pengeluaran keringat dari kelenjar keringat apokrin di telapak tangan dan beberapa tempat lain (adrenergic sweating). Efek-efek ini dihambat oleh α-bloker.

·         Mata
            Midriasis mudah terjadi pada perangsangan simpatis tetapi tidak bila Epi diteteskan pada konyungtiva mata normal. Tetapi, Epi biasanya menurunkan tekanan intraokuler yang normal maupun pada penderita glaucoma sudut lebar. Timbulnya efek ini mungkin karena berkurangnya pembentukan cairan mata akibat vasokonstriksi dank arena bertambahnya aliran ke luar. Anehnya, timolol, suatu β-bloker, juga mengurangi tekanan intraokuler dan efektif untuk pengobatan  glaucoma.

·         Otot rangka
            Epi tidak langsung merangsang otot rangka, tetapi melalui aktivasi reseptor α dan β pada ujung saraf somatic, Epi meningkatkan influks Ca++ (reseptor α) dan meningkatkan kadar siklik AMP intrasel (reseptor β) sehingga meningkatkan penglepasan neurotransmitor Ach pada setiap impuls dan terjadi fasilitasi transmisi saraf-otot. Hal ini terjadi terutama setelah stimulasi saraf somatic yang terus menerus. Epi dan β2-agonis memperpendek masa aktif otot merah yang kontraksinya lambat (dengan mempercepat sekresi Ca++ dalam sitoplasma) sehingga stimulasi saraf pada kecepatan fisiologis menyebabkan kontraksi otot yang terjadi tidak bergabung dengan sempurna dan dengan demikian kekuatan kontraksinya berkurang. Efek ini disertai dengan peningkatan aktivitas llistrik dari otot (akibat aktivasi reseptor β)  sehingga menyebabkan terjadinya tremor yang merupakan efek samping pada penggunaan β2-agonis sebagai bronkodilator.


·         Pembekuan darah
            Epi mempercepat pembekuan darah. Mekanismenya diduga melalui peningkatan aktivitas factor V.

2.8. Farmakokinetik Dari Epinefrin
·         Absorpsi :
-       Pembersih oral à Epi tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak pada dinding usus dan hati.
-       Penyuntikan subkutan à absorpsi lambat karena vasokonstriksi lokal, dipercepat melalui memijat tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat terjadi pada penyuntikan intra muskular.
-       Secara inhalasi à efek pada saluran napas, efek sistemik terjadi.
·         Biotransformasi dan ekskresi : epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin terjadi dalam hati yang mengandung enzim COMT dan MAO, tapi jaringan lain dapat merusak zat ini. Epi mengalami biotransformasi, oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan konjugasi menjadi metanefrin, asam-3-metoksi-4-hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksi-feniletilenglikol dan bentuk konjugasi glukoronat dan sulfat. Metabolit itu bersama Epi yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah Epi dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung Epi dan Norepinefrin utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.

2.9 PENGGUNAAN KLINIS OBAT OTONOMIK YANG MUNCUL DALAM PEMICU
Berikut ini adalah penggunaan klinik epinefrin :
·         Mengatasi dengan cepat reaksi hipersensitivitas untuk mengatasi anafilaksis
·         Mengurangi spasme bronkus-β2
·         Meningkatkan efek anestesi infiltrasi
·         Hemostatik topical
·         Cardiac arrest-adrenalin IV
·         Memperpanjang masa kerja anestesi lokal,untuk mengurangi aliran darah
·         Meransang jantung pasien pada pasien henti jantung
·         Menghentikan peredaran darah lokal
·         Menghilangkan sesak nafas akibat bronkokonstriksi


2.10 EFEK YANG MERUGIKAN PADA PENGGUNAAN OBAT OTONOMIK YANG MUNCUL DALAM PEMICU

Menurut (Gunawan, 2007), penggunaan epinefrin juga memiliki intoksikasi, efek samping serta kontraindikasi diantaranya sebagai berikut :
1.    Pemberian Epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti :
F Gelisah
F Nyeri kepala berdenyut
F Tremor
F Palpitasi
Gejala tersebut akan dapat mereda dengan cepat setelah istirahat.
ü  Pasien dengan hipertiroid dan hipertensi  lebih peka terhadap efek-efek tersebut diatas maupun terhadap efek pada sistem kardiovaskular.
ü  Pada pasien psikoneurotik, Epinefrin justru malah memperberat gejala-gejalanya.

2.    Dosis Epinefrin yang besar atau penyuntikan IV (Intra Vena) secara cepat yang tidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena disini terjadi kenaikan tekanan darah yang hebat.

·         Bahkan penyuntikan SK (Sub Kutan) 0,5 mL larutan 1:1000 dilaporkan dapat menimbulkan perdarahan subarakhnoid dan hemiplegia.
·         Untuk mengatasinya dapat diberikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya : nitrat atau natrium nitroprusid, selain itu α-bloker juga berguna.

3.    Epinefrin dapat menimbulkan aritmia ventrikel.
·         Fibrilasi ventrikel bila terjadi, biasanya bersifat fatal.
®        Hal ini terutama terjadi apabila Epiefrin diberikan sewaktu anestesia dengan menggunakan hidrokarbon berhalogen, atau pada pasien dengan penyakit jantung organik.

4.    Pada pasien angina pektoris, Epinefrin mudah menimbulkan serangan karena obat ini meningkatkan kerja jantung sehingga memperberat kekurangan akan kebutuhan oksigen.

5.    Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif, karena kerjanya yang tak terimbangi pada reseptor α1 pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.

2.11 CARA PEMBERIAN OBAT OTONOMIK DALAM PEMICU DAN ALASAN PENGGUNAANNYA

*      Menurut (Gunawan, 2007),  Epinefrin dalam sediaan adalah isomer levo.
1.    Suntikan Epinefrin
Adalah larutan steril 1 mg/mL (1:1000) Epi HCl dalam air untuk penyuntikan SK (subkutan).
®        Ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas akut lainnya.
®        Dosis dewasa bekisar antara 0,2-0,5 mg (0,2-0,5 mL larutan 1:1000).
Untuk penyuntikan IV (Intra Vena), yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan lebih dahulu dan harus disuntikkan dengan cara perlahan. Dosisnya jarang sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung,  dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit.
Penyuntikan intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi dalam keadaan darurat (0,3-0,5 mg).

2.    Inhalasi Epinefrin
Adalah larutan tidak steril 1% Epi HCl atau 2% Epi bitartrat dlam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi. “Hati-hati” untuk tidak mengacaukan larutan 1:100 dengan larutan 1:1000 untuk suntikan, dikarenakan penyuntikan dengan larutan 1:100 dapat berakibat fatal.

3.    Epinefrin tetes mata
Adalah larutan 0,2-2% Epi HCl 0,5-2% Epi borat dan 2% Epi bitartrat

*      Menurut (Sudarminah, 2009),  Cara pemberian obat Epinefrin adlah sebagai berikut :
1.    Per Oral
F  Tidak efektif.
F  Karena dapat dirusak oleh MAO dan COMT doa pendek.
2.    Per Enteral
a.   Per infusum
b.  Intra muscular
c.   Subcutan
®        Absorbsinya lambat karena vasokonstriksi (+) >< pemijatan.
3.    Infiltrasi atau Nerve Block
F  Untuk anestesi lokal.
4.    Per Inhalasi
F  Untuk mengurangi bronkokonstriksi.
5.    Secara Lokal
F  Untuk menghentikan perdarahan akibat trauma, misalnya: epistaxis pencabutan gigi.

0 comments:

Posting Komentar